Sunday, September 26, 2010

seperti rumah dua lantai

Ya, saya kembali. Kali ini dengan setumpuk cerita indah. Saya baru saja selesai berbincang dengan salah seorang sahabat. Dan kami (akhirnya) membahas bagaimana hitamnya masa lalu. Yaa, saya sekarang baru tahu kalau dia juga pernah mengalami apa yg saya alami dulu. Saat yang sempat kami anggap sebagai aib namun ternyata itu semua adalah sebuah tongkat besi berkilau yang menjadi kekuatan kami untuk menghancurkan bongkahan batu besar yg ada di depan, nanti.


Dia berkata “ibarat rumah dua lantai, saat ada di lantai dua kita bisa melihat semua dari atas, saat kita berada di bawah kita menapak ke bumi, dan sekarang kita berada di bawah”. Yaa sahabat, saat ini kita sedang menapaki tangganya satu-persatu, ingat, satu-persatu. Dan tujuannya sudah jelas kan? Lantai dua.


Kami sempat merasa hidup diatas kata bernama ketidak-adilan saat melihat seorang manusia lain yg selalu hidup di lantai 2, atau mungkin lantai 3. Tapi sekarang kami tau, sadar, dan mencoba untuk ikhlas, bahwa ini sudah diatur. (He’s a really good planner. GOD.) Mungkin manusia lain tidak akan sekuat kami jika berada di lantai 1 terlalu lama. Mungkin manusia lain tidak setegar kita saat berada di ruang kosong tanpa udara. Mungkin manusia lain tidak sebersyukur kita saat berada di lantai 2. Atau mungkin manusia lain tidak seberuntung kita yang tidak sempat memijak lantai satu, menapak ke bumi. Jadi, sahabat, saat kita nanti berada di lantai 2 atau lebih, kita akan lebih kuat dan jauh lebih bersyukur dari manusia lain, insya Allah.


Batu-batu kecil beberapa waktu ini, adalah sebuah hadiah besar, yang diberikan tuhan special untuk orang-orang yg menurut-Nya sanggup menilai ini menjadi sebuah pelajaran besar. Toh setiap manusia juga pernah dan akan tertampar kan? Toh jika tidak ada nasi, kita masih bisa makan singkong kan? Toh jika tidak punya mobil, kita masih bisa naik kendaraan umum kan? Bahkan jika tak ada kendaraan umum pun, kita bisa berjalan kaki kan? Jadi, sahabat, tenang saja.. tuhan tidak akan memberikan cobaan yg tidak bisa dilalui umatnya. Kita umatnya kan?


Semua yang hidup di dunia ini tujuan nya hanya satu, bahagia. Tapi sayangnya, manusia punya presepsi yang berbeda tentang kata ini. Dan untungnya, arti bahagia menurut kamu dan saya, sama. Bahagia di hati. Bukan materi, bukan ketenaran. Bahagia yang saya maksut, sulit sekali saya jelaskan. Tapi saya yakin kamu mengerti. Jadi jika tamparan kemarin sempat membuat mu sakit, tidak apa sahabat. Karena itu akan membuat besok akan terasa lebih sempurna. Walaupun tidak ada yang sempurna, setidaknya mendekati.


Saat membuat tulisan ini, saya menangis sambil tersenyum. Saya sedang merasa bahagia yang saya maksut tadi. Saya sangat bersyukur tuhan menampar saya waktu itu, karena jika tidak, saat ini dan nanti saya tidak akan bisa mensyukuri hidup di lantai 2 rumah ini. Rumah bagi semua manusia.


Jadi sahabat, saya tahu kamu, dan saya tahu kamu bisa membuat ini menjadi sebuah pelajaran. (toh abis pra-sidang, masih ada sidang, lalu baru wisudaaa..)


Love,
Ayumi Astriani

bukan cinta macam orang kota


Kesederhanaan adalah satu-satunya kata yang cocok untuk mendeskripsikan kota ini, tengah pulau jawa, Indonesia. Dan satu-satunya bab yang ada di dalamnya adalah… keikhlasan.


Mungkin saya hanya sekali dalam setahun ke kota ini, atau bahkan kurang. Namun orang-orang ini tidak pernah gagal untuk membuat saya tertampar.


Dari sisi materi, mereka cukup, bahkan lebih dari cukup. Namun tidak sesekali mereka tonjolkan nikmat duniawi yang satu itu. Mereka hanya menjual cinta. Bukan cinta macam orang kota. Tapi cinta untuk tuhan, dan keluarga. Maksut saya disini cinta yang putih. Bukan love yang pink, pink itu drama. (hahaha)


Mereka membeli ikhlas. Harga mahal untuk menyentuh senyum mutlak. Tidak ada sisi lain dan tidak ada perbedaan sudut pandang dari kata ini. Ikhlas ya ikhlas. Tidak mengeluh. Tidak menggerutu. Yaaa ikhlas.


Saya malu pada orang-orang ini. Saya rasa derajat mereka jauh diatas saya. Mungkin begitu menurut tuhan, entahlah. Selama ini mungkin saya terlalu angkuh, terlalu sombong, dan terlalu gengsi untuk mengungkap cinta. Kata sakral nan se-sederhana itu.


Saya ingin, menua di kota ini. Bukan apa-apa, hanya agar selalu tertampar, untuk menyentuh senyum mutlak.


*Cheers
Ayumi Astriani

Thursday, July 8, 2010

Decrescendo (Ctrl-A-delete-enter)


Hebat! Saya telah diberikan mimpi oleh seseorang, walaupun tanpa kata-kata tapi saya mengerti maksutnya lewat apa yang dia lakukan untuk saya. Saya senang sekali. Tapi bodohnya, saya lupa kalau saya tidak boleh terbang terlalu tinggi. Waduh terlanjur sepertinya.


Saat ini mimpi itu hilang berserta objeknya. Decrescendo! Hebat! Dan saya, terjun bebas tanpa parasut. Hahaha. Lagi? Tapi apa yang bisa saya perbuat ya? Tangan ini ingin sekali memberontak, namun juga terlanjur terselimuti dogma (terima kasih untuk seseorang yang memberitahu saya soal dogma).


Dan objeknya pun, telah pergi. Mungkin belum jauh, menurut anda. Tapi jauh menurut saya. Toh jauh itu relatif kan? Maaf, bukan maksut ingin melupakan tapi hanya menyakinkan diri saja, satu pertanyaan, file­-file dalam salah satu folder dalam hati saya ini kira-kira sudah boleh saya ctrl-A-delete-enter?

Lagu-Tenang atau Lagu-Tegang


Tadi sore saya bertemu dengan teman dekat saya, yang hampir saya anggap sebagai saudara.. dia mengingatkan saya akan masa depan yang akan kita lalui nanti.. dan yaa, wow, saya sadar, saat ini belum ada lagi goresan tipis tebal harapan yang saya hitamkan diatas putih. Sedetik saja saya tersentak, apakah saya tidak punya mimpi untuk masa depan saya? Waduh, say apunya! Tapi mungkin belum sempat saya tumpahkan dari gumpalan pelangi di atas kepala saya ini.


Sebelum saya menulis, saya telah (akhirnya) menuangkan impian impian saya hingga 2 tahun kedepan dalam sebuah kertas bekas, bukan kertas putih. Hhmm kenapa? Karena saya tidak lagi putih, sudah banyak coretan yang mau tidak mau harus ada dalam kertas kehidupan saya, sebelumnya. Dan saya sangat mensyukuri atas apa yang telah tercoret disana, warna hijau biru ungu hingga yang hitam pun saya bersyukur. Karena apa? Karena warna-warna itulah yang bisa membuat saya tau, mau jadi apa saya nanti.


Hayal. Tak ada yang salah dari kata ini. Setidaknya menurut saya dan sebagian orang. Saya percaya, masa depan berawal dari hayalan. Jika kamu blm tau akan seperti apa masa depan kamu, berhayal-lah! Tak akan ada yang terganggu untuk meluangkan waktu untuk diri sendiri satu atau dua atau tiga jam (kalau empat atau lebih sebaiknya dihentikan yah, gejala tidak waras sayang, ngayal mulu! ;p)


Sudah mengahayalnya? Oke, sekarang bangun! Dan pikirkan apa yang akan kita lakukan untuk menggapai hayal-hayal itu. Kemudian berjalan. Jika ingin berlari, boleh, tapi jangan sekarang. Nanti saja. Untuk sekarang, seperti ketukan garpu tala bisa dijadikan patokan kamu berjalan dengan aliran lagu-lagu-tenang. Dan nanti, pasti akan ada saat nya kita harus berlari dengan iringan lagu-lagu-tegang. Eiitss, tapiiii, mau lagu-tenang atau lagu-tegang harus tetap dengan ketukan garpu tala ya. Jadiiiiii masih ada yang mengontrol gitu maksutnya.. hehehe.. ;p

Sayap yang Sudah Patah


Melihat sebuah tulisan dari micro-blog (baca: twitter) milik teman dekat saya mengenai sayap, saya jadi ingin bercerita. Pertanyaan, apakah kita butuh sayap? Saya, butuh sayap. Tapi saat saya mengatakannya, sayap ini sudah terlanjur patah. Mungkin karena terlalu sering jatuh.


Saya pernah terbang tinggi saat sayap ini masih putih dan bersinar, dulu. Mungkin saat itu sangat indah! Saya yakin saat itu pasti indah! Hhmm, tapi saya hampir lupa. Dan bisa dibilang sudah lupa. Karena saya akan merasakan sakit lagi jika mengingatnya. Saya kapok. Saya tidak lagi mau terbang tinggi. Bahkan saya tidak lagi mau terbang. Karena saya tau, suatu saat pasti akan jatuh. Dan saya akan kembali merasakan sakit yang setidaknya sama dan bisa jadi lebih sakit daripada yang pernah saya rasakan. Terbangnya saya lupa, tapi jatuhnya saya ingat. Dan itulah yang bisa membuat saya terus berusaha untuk berdiri. Di kaki sendiri.


Sebenarnya, saya tidak ingin lagi bergantung pada orang lain. Siapapun. Termasuk kedua orang tua saya (Alhamdulillah, mereka masih ada). Tapi disaat saya ingin berada di depan mereka, seolah mereka menarik saya kembali ke belakang. Mungkin menurut mereka saya masih gadis kecil milik mereka. Dulu.


Saya memang sendiri, tapi tolong bantu saya untuk tidak merasa sendiri. Biarkan saya berjalan dengan sayap yang sudah patah ini untuk mencari sebuah keramaian dimana saya bisa melebur dengan manusia-manusia di dalamnya. Tolong biarkan saya mencari kebahagiaan dengan jati diri yang telah dan akan saya bangun sendiri. Tenang saja, sayap patah ini tidak akan saya perbaiki, tetap akan saya biarkan melekat di punggung ini. Karena hanya inilah yang bisa mengingatkan saya bahwa dulu saya pernah jatuh karena terbang terlalu tinggi.


Papa, lepaskan saya.


Mama, tolong katakan pada papa untuk lepaskan saya.


Terima kasih atas senyumannya, saya duluan yaaaa.. ;p


Cheers,

Ayumi Astriani